Kamis, 21 Maret 2013

Mengenal Keluarga Alawiyyin di Hadramaut,Yaman

Hadramaut adalah suatu daerah yang terletak di Timur Tengah, tepatnya di kawasan seluruh pantai Arab Selatan dari mulai Aden sampai Tanjung Ras al-Hadd. Menurut sebagian orang Arab, Hadramaut hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, yaitu daerah pantai di antara pantai desa-desa nelayan Ain Ba Ma'bad dan Saihut beserta daerah pegunungan yang terletak di belakangnya. Penamaan Hadramaut menurut penduduk adalah nama seorang anak dari Qahthan bin Abir bin Syalih bin Arfahsyad bin Sam bin Nuh yang bernama Hadramaut, yang pada saat ini nama tersebut disesuaikan namanya dengan dua kata arab hadar dan maut. Nabi Hud merupakan salah satu nabi yang berbangsa Arab selain Nabi Saleh, Nabi Ismail dan Nabi Muhammad SAW. Nabi Hud diutus kepada kaum 'Ad yang merupakan generasi keempat dari Nabi Nuh, yakni keturunan Aus bin Aran bin Sam bin Nuh. Mereka tinggal di Ahqaf yakni jalur pasir yang panjang berbelok-belok di Arab Selatan, dari Oman di Teluk Persia hingga Hadramaut dan Yaman di Pantai Selatan Laut Merah. Dahulu Hadramaut dikenal dengan Wadi Ahqaf, Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata bahwa al-Ahqaf adalah al-Khatib al-Ahmar. Makam Nabi Hud secara tradisional masih ada di Hadramaut bagian Timur dan pada tanggal 11 Sya'ban banyak dikunjungi orang untuk berziarah ke makam tersebut dengan membaca tiga kali surah Yasin dan doa nisfu Sya'ban. Ziarah nabi Hud pertama kali dilakukan oleh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan setelah beliau wafat, ziarah tersebut dilakukan oleh anak keturunannya. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad semasa hidupnya sering berziarah ke makam Nabi Hud. Beliau sudah tiga puluh kali berziarah ke sana dan beliau lakukan pada setiap bulan Sya'ban. Dalam ziarah tersebut beliau berangkat bersama semua anggota kerabat yang tinggal di dekatnya. Beliau tinggal (di dekat pusara Nabi Hud) selama beberapa hari hingga maghrib menjelang malam nisfu sya'ban. Beliau menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah ke sana, bahkan beliau mewanti-wanti, "Barangsiapa berziarah ke (makam) Nabi Hud dan di sana ia menyelenggarakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, ia akan mengalami tahun yang baik dan indah." Menurut sebagian ulama kasyaf ,makam Nabi Hud merupakan tempat pengobatan para waliyullah. Setibanya di syi'ib Nabi Hud (lembah antara dua bukit tempat pusara nabi Hud), Imam al-Haddad bertemu dengan beberapa orang sayyid dan waliyullah, sehingga pertemuan itu menjadi majlis pertukaran ilmu dan pandangan. Dalam bahasa Ibrani asal nama Hadramaut adalah 'Hazar Maweth' yang berdasarkan etimologi, rakyat mengaggapnya berhubungan dengan gagasan "hadirnya kematian" yaitu berkaitan dengan hadirnya Nabi Saleh as ke negeri itu, yang tidak lama kemudian meninggal dunia. Pengertian lain kata Hadramaut menurut prasasti penduduk asli Hadramaut adalah "panas membakar", sesuai dengan pendapat Moler dalam bukunya Hadramaut, mengatakan bahwa Hadramaut sebenarnya berarti negeri yang panas membakar. Sebuah legenda yang dipercayai masyarakat Hadramaut bahwa negeri ini diberi nama Hadramaut karena dalam negeri tersebut terdapat sebuah pohon yang disebut al-Liban semacam pohon yang baunya menurut kepercayaan mereka sangat mematikan. Oleh karena itu, setiap orang yang datang (hadar) dan menciumnya akan mati (maut). Kota-kota di Hadramaut. Di antara pelabuhan yang cukup penting di pantai Hadramaut adalah al-Syihir dan al-Mokalla. Asy-Syihir merupakan bandar penting yang melakukan perdagangan dengan pantai Afrika Timur, Laut Merah, Teluk Persia, India dan pesisir Arab Selatan terutama Moskat, Dzofar dan Aden serta perdagangan dengan bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lainnya. Kota Syibam merupakan salah satu kota penting di negeri itu. Syibam merupakan kota Arab terkenal yang dibangun menurut gaya tradisional. Di kota ini terdapat lebih dari 500 buah rumah yang dibangun rapat, bertingkat empat atau lima. Orang Barat menjulukinya 'Manhattan of the Desert'. Kota tua ini telah menjadi ibukota Hadramaut sejak jatuhnya Syabwah (pada abad ke 3 sampai abad ke 16). Karena dibangun di dasar wadi yang agak tinggi, kota ini rentan terhadap banjir, seperti yang dialaminya tahun 1532 dan 1533. Kota-kota besar di sebelah Timur Syibam adalah al-Gorfah, Sewun, Taribah, al-Goraf, al-Sowairi, Tarim, Inat dan al-Qasm. Sewun merupakan kota terpenting di Hadramaut pada abad ke 19, kota terbesar yang merupakan ibukota protektorat terletak 320 km dari Mokalla'. Ia juga sering dijuluki 'Kota Sejuta Pohon Kurma' karena luasnya perkebunan kurma di sekitarnya. Kota lain di sebelah Timur Syibam adalah Tarim, yang terletak sekitar 35 km di Timur Saiyun. Di satu sisi kota ini terlindungi oleh bukit-bukit batu terjal, di sisi lain di kelilingi oleh perkebunan kurma. Sejak dulu, Tarim merupakan pusat Mazhab Syafi'i. Antara abad ke 17 dan abad ke 19 telah terdapat lebih dari 365 masjid. Kota Tarim atau biasa dibaca Trim termasuk kota lama. Nama Tarim, menurut satu riwayat diambil dari nama seorang raja yang bernama Tarim bin Hadramaut. Dia juga disebut dengan Tarim al-Ghanna atau kota Tarim yang rindang karena banyak pepohonan dan sungai. Kota tersebut juga dikenal dengan kota al-Shiddiq karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-Anshari ketika menyeru untuk membaiat sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah, maka penduduk Tarim adalah yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya hingga khalifah Abu Bakar mendoakan penduduk Tarim dengan tiga permintaan: (1) agar kota tersebut makmur, (2) airnya berkah, dan (3) dihuni oleh banyak orang-orang saleh. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Ba'abad berkata bahwa: "al-Shiddiq akan memberikan syafa'at kepada penduduk Tarim secara khusus". Menurut suatu catatan dalam kitab al-Ghurar yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ali bin Alawi Khirid, bahwa keluarga Ba'alawi pindah dari Desa Bait Jubair ke kota Tarim sekitar tahun 521 hijriyah. Setelah kepindahan mereka kota Tarim dikenal dengan kota budaya dan ilmu. Diperkirakan, pada waktu itu di kota Tarim ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di masjid agung kota Tarim dipenuhi oleh ulama fiqih kota tersebut. Adapun orang pertama dari keluarga Ba'alawi yang hijrah ke kota Tarim adalah Syaikh Ali bin Alwi Khali' Qasam dan saudaranya Syaikh Salim, kemudian disusul oleh keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri. Diceritakan bahwa pada kota Tarim terdapat tiga keberkahan: (1) keberkahan pada setiap masjidnya, (2) keberkahan pada tanahnya, (3) keberkahan pada pergunungannya. Keberkahan masjid yang dimaksud adalah setiap masjid di kota Tarim pada waktu sesudah kepindahan Ba'alawi menjadi universital-universitas yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Di antara masjid-masjid di kota Tarim yang bersejarah ialah masjid Bani Ahmad yang kemudian dikenal dengan masjid Khala' Qasam setelah beliau berdomisili di kota tersebut. Masjid tersebut dibangun dengan batu, tanah dan kayu yang diambil dari desa Bait Jubair karena tanah dari desa tersebut dikenal sangat bagus, kemudian masjid tersebut dikenal dengan masjid Ba'alawi. Bangunan masjid Ba'alawi nyaris sebagian tiangnya roboh dan direnovasi oleh Muhammad Shahib Mirbath. Pada awal abad ke sembilan hijriyah, Syaikh Umar Muhdhar merenovasi kembali bagian depan dari masjid tersebut. Naqib dan Munsib. Di lembah yang terletak antara Syibam dan Tarim dengan Saiyun di antaranya terdapat lebih dari sepertiga penduduk Hadramaut. Dari sini pula kebanyakan orang Arab di Indonesia. Di antara penduduk Hadramaut terdapat kaum Alawiyin yang lebih dikenal dengan golongan Sayid. Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut terutama di kota Tarim dan Saiyun, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara moral sangat berpengaruh pada penduduk. Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga (qabilah), dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun temurun yang bergelar munsib. Munsib merupakan perluasan dari tugas 'Naqib' yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang 'naqib' adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim, seperti Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf. Ketika terpilih menjaga 'naqib', beliau mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya: 1. Kepala keluarga Alawiyin dimohon kesediaannya untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dari keluarga kaya dengan anak laki-laki dari keluarga miskin, begitu pula sebaliknya untuk menikahkan anak laki-laki dari keluarga kaya dengan anak perempuan dari keluarga miskin. 2. Menurunkan besarnya mahar pernikahan dari 50 uqiyah menjadi 5 uqiyah, sebagaimana perintah shalat dari 50 waktu menjadi 5 waktu. 3. Tidak menggunakan tenaga binatang untuk menimba air secara berlebihan. Setelah Syekh Umar Muhdhar wafat, jabatan 'naqib' dipegang oleh Syekh Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar al-Sakran, Syekh Abu Bakar al-Adeni Alaydrus, Sayid Ahmad bin Alwi Bajahdab, Sayid Zainal Abidin Alaydrus. Menurut Syekh Ismail Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya 'Al-Saraf al-Muabbad Li Aali Muhammad' berkata: "Salah satu amalan yang khusus yang dikerjakan oleh keluarga Rasulullah, adanya 'naqib' yang dipilih di antara mereka". Naqib dibagi menjadi dua, yaitu: Naqib Umum ( al-Naqib al-Am ), dengan tugas: 1. Menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara keluarga 2. Menjadi ayah bagi anak-anak dari keluarga yatim 3. Menentukan dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang telah membuat suatu kesalahan atau menyimpang dari hukum agama. 4. Mencarikan jodoh dan menikahkan perempuan yang tidak punya wali. Naqib khusus (al-Naqib al-khos), dengan tugas: 1. Menjaga silsilah keturunan suatu kaum 2. Mengetahui dan memberi legitimasi terhadap nasab seseorang. 3. Mencatat nama-nama anak yang baru lahir dan yang meninggal. 4. Memberikan pendidikan akhlaq kepada kaumnya. 5. Menanamkan rasa cinta kepada agama dan melarang untuk berbuat yang tidak baik. 6. Menjaga keluarga dari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. 7. Menjaga keluarga bergaul kepada mereka yang mempunyai akhlaq rendah demi kemuliaan diri dan keluarganya. 8. Mengajarkan dan mengarahkan keluarga tentang kebersihan hati 9. Menjaga orang yang lemah dan tidak menzaliminya. 10. Menahan perempuan-perempuan mereka menikah kepada lelaki yang tidak sekufu'. 11. Menjaga harta yang telah diwakafkan dan membagi hasilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku. 12. Bertindak tegas dan adil kepada siapa saja yang berbuat kesalahan. Dewan naqabah terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan lima orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka. Dewan yang terdiri dari sepuluh anggota ini mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari'at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (naqib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan. Dari waktu ke waktu tugas 'naqib' semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu 'naqib' jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas 'naqib' tersebut, maka terbentuklah 'munsib'. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Sebagian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala' Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan ar-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah. Keluarga golongan sayid. Keluarga golongan Sayid yang berada di Hadramaut adalah: Aal-Ibrahim Al-Ustadz al-A'zhom Asadullah fi Ardih Aal-Ismail Aal-Bin Ismail Al-A'yun Aal-Albar Aal-Battah Aal-Albahar Aal-Barakat Aal-Barum Aal-Basri Aal-Babathinah Aal-Albaiti Aal-Babarik Aal-Albaidh Al-Turobi Aal-Bajahdab Jadid Al-Jaziroh Aal-Aljufri Jamalullail Aal-Bin Jindan Al-Jannah Aal-Junaid Aal-Aljunaid Achdhor Aal-Aljailani Aal-Hamid Aal-Alhamid Aal-Alhabsyi Aal-Alhaddad Aal-Bahasan Aal-Bahusein Hamdun Hamidan Aal-Alhiyyid Aal-Khirid Aal-Balahsyasy Aal-Khomur Aal-Khaneiman Aal-Khuun Aal-Maula Khailah Aal-Dahum Maula al-Dawilah Aal-Aldzahb Aal-Aldzi'bu Aal-Baraqbah Aal-Ruchailah Aal-Alrusy Aal-Alrausyan Aal-Alzahir Aal-Alsaqqaf Al-Sakran Aal-Bin Semith Aal-Bin Semithan Aal-Bin Sahal Aal-Assiri Aal-Alsyatri Aal-Syabsabah Aal-Alsyili Aal-Basyamilah Aal-Syanbal Aal-Syihabuddin Al-Syahid Aal-Basyaiban Al-Syaibah Aal-Syaikh Abi Bakar Aal-Bin Syaichon Shahib al-Hamra' Shahib al-Huthoh Shahib al-Syubaikah Shahib al-Syi'ib Shahib al-Amaim Shahib Qasam Shahib Mirbath Shahib Maryamah Al-Shodiq Aal-Alshofi Alsaqqaf Aal-Alshofi al-Jufri Aal-Basuroh Aal-Alshulaibiyah Aal-Dhu'ayyif Aal-Thoha Aal-Al thohir Aal-Ba'abud Al-Adeni Aal-Al atthas Aal-Azhamat Khan Aal-Aqil Aal-Ba'aqil Aal-Ba'alawi Aal-Ali lala Aal-Ba'umar Aal-Auhaj Aal-Aydrus Aal-Aidid Al-Ghozali Aal-Alghozali Aal-Alghusn Aal-Alghumri Aal-Balghoits Aal-Alghaidhi Aal-Fad'aq Aal-Bafaraj Al-Fardhi Aal-Abu Futaim Al-Faqih al-Muqaddam Aal-Bafaqih Aal-Faqih Aal-Bilfaqih Al-Qari' Al-Qadhi Aal-Qadri Aal-Quthban Aal-Alkaf Kuraikurah Aal-Kadad Aal-Karisyah Aal-Mahjub Al-Muhdhar Aal-Almuhdhar Aal-Mudhir Aal-Mudaihij Abu Maryam Al-Musawa Aal-Almusawa Aal-Almasilah Aal-Almasyhur Aal-Masyhur Marzaq Aal-Musyayakh Aal-Muzhahhir Al-Maghrum Aal-Almaqdi Al-Muqlaf Aal-Muqaibil Aal-Maknun Aal-Almunawwar Al-Nahwi Aal-Alnadhir Al-Nuqa'i Aal-Abu Numai Al-Wara' Aal-Alwahath Aal-Hadun Aal-Alhadi Aal-Baharun Aal-Bin Harun Aal-Hasyim Aal-Bahasyim Aal-Bin Hasyim Aal-Alhaddar Aal-Alhinduan Aal-Huud Aal-Bin Yahya Keluarga Alawiyin di atas adalah keturunan dari Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, sedangkan yang bukan dari keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, adalah: Aal-Hasni Aal-Barakwan Aal-Anggawi Aal-Jailani Aal-Maqrabi Aal-Bin Syuaib Aal-Musa al-Kadzim Aal-Mahdali Aal-Balakhi Aal-Qadiri Aal-Rifai Aal-Qudsi Sedangkan yang tidak berada di Indonesia kurang lebih berjumlah 40 qabilah, diantaranya qabilah Abu Numai al-Hasni yaitu leluhur Almarhum Raja Husein (Yordania) dan sepupunya Almarhum Raja Faisal (mantan raja Iraq) dan qabilah al-Idrissi, yaitu leluhur mantan raja-raja di Tunisia dan Libya. Pemakaman Zanbal, Furait dan Akdar di Tarim. Pusat pemukiman Kaum Alawiyin di Hadramaut ialah kota Tarim. Di sana terdapat tanah perkuburan Bisyar yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Zanbal, Furait dan Akdar. Di perkuburan Zanbal, al-Faqih Muqaddam dan semua sayyid terkemuka dari Kaum Alawiyin dimakamkan, di Furait terdapat perkuburan para masyaikh, dan Akdar merupakan perkuburan umum. Di pemakaman Zanbal, para Saadah al-Asraf, Ulama Amilin, Auliya' dan Sholihin yang tidak terhitung jumlahnya dikuburkan di sana. Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah berkata: "Lebih dari sepuluh ribu auliya' al-akbar, delapan puluh wali quthub dari keluarga alawiyin di makamkan di Zanbal". Seperti diriwayatkan oleh Syaikh Saad bin Ali: "Di pemakaman Zanbal dikuburkan para sahabat Rasulullah saw , mereka wafat ketika menunaikan tugas untuk memerangi ahli riddah. Mereka banyak yang wafat di Tarim dan tidak diketahui kuburnya". Akan tetapi Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Dawilah, berkata: "Sesungguhnya letak kubur mereka sebelah Timur dari kubur al-Ustadz al-A'zhom Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam". Berkata Syaikh Muhammad bin Aflah: "Sesungguhnya dari masjid Abdullah bin Yamani sampai akhir pemakaman Zanbal terdapat perkuburan para ulama dan auliya". Menurut ulama kasyaf, Rasulullah dan para sahabatnya sering berziarah ke pemakaman tersebut. Pertama kali makam yang diziarahi di perkuburan Zanbal adalah makam al-Ustadz al-A'zham Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam. Berkata Syaikh Ahmad bin Muhammad Baharmi: "Saya melihat Syaikhoin Abu Bakar dan Umar ra dalam mimpi berkata kepada saya, jika engkau ingin berziarah maka yang pertama kali diziarahi ialah al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, kemudian ziarahilah siapa yang engkau kehendaki". Berkata sebagian para Saadah al-Akbar: "Barangsiapa berziarah kepada orang lain sebelum berziarah kepada al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, maka batallah ziarahnya". Kemudian ziarah kepada cucunya Syaikh Abdullah Ba'alwi, kemudian kubur ayahnya Alwi bin al-Faqih al-Muqaddam, kemudian Imam Salim bin Basri, kemudian ziarah kepada Syaikh Abdullah bin al-Faqih al-Muqaddam, Ali bin Muhammad Shahib Marbath, Ali bin Abdullah Ba'alwi, kemudian Syaikh Abdurahman Assaqqaf dan ayahnya Muhammad Maula Dawilah, ayahnya Ali bin al-Faqih al-Muqaddam, kemudian kakeknya Ali bin Alwi Khali' Qasam, Muhammad bin Hasan Jamalullail dan ayah serta kakeknya, kemudian Syaikh Muhammad bin Ali Aidid, Ali, Muhammad, Alwi, Syech bin Abdurahman Assaqqaf, kemudian ziarah kepada Syaikh Umar Muhdhor, Syaikh Ali bin Abi Bakar al-Sakran, kemudian Syaikh Hasan Alwara' dan ayahnya Syaikh Muhammad bin Abdurahman, kemudian para auliya' sholihin seperti al-Qadhi Ahmad Ba'isa, kemudian Syaikh Abdullah Alaydrus, Syaikhoin Muhammad dan Abdullah bin Ahmad bin Husin Alaydrus, kemudian Syaikh Abdullah bin Syech, Sayid Ali Zainal Abidin bin Syaikh Abdullah. Selain pemakaman Zanbal, terdapat pula pemakaman Furait. Dalam kamus bahasa Arab arti Furait adalah gunung kecil. Di tempat tersebut dikuburkan keluarga Bafadhal serta para ulama, auliya', sholihin yang tak terhitung jumlahnya. Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Dawilah berkata: "Di tempat itu dikuburkan lebih dari sepuluh ribu wali" Beberapa ulama kasyaf menyaksikan, sesungguhnya rahmat Allah yang turun pertama kali di dunia ini di pemakaman Furait. Syaikh Abdurahman Assaqqaf, Sayid Abdullah bin Ahmad bin Abi Bakar bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan sebagian ulama di Makkah menceritakan bahwa dibawah tanah Furait terdapat taman dari taman-taman surga. Di pemakaman Furait, mulai ziarah diawali kepada Syaikh Salim bin Fadhal, kemudian Syaikh Fadhal bin Muhammad bin al-faqih Ahmad, Syaikh Fadhal bin Muhammad, kemudian kepada Syaikh Ahmad yahya dan ayah serta pamannya, kemudian Syaikh Ibrahim bin Yahya Bafadhal, Syaikh Abu Bakar bin Haj, kemudian kepada Imam al-Qudwah Ali bin Ahmad Bamarwan, al-Arif Billah Umar bin Ali Ba'umar, Imam Ahmad bin Muhammad Bafadhal, Ali bin al-Khatib, Syaikh Abdurahman bin Yahya al-Khatib, Syaikh Ahmad bin Ali al-Khatib, Imam Ahmad bin Muhammad bin Abilhub dan anaknya Said, Imam Saad bin Ali. Pemakaman ketiga yang terkenal di kota Tarim adalah pemakaman Akdar. Di perkuburan Akdar, yang dimakamkan di sana di antaranya para ulama, auliya' al-arifin dari keluarga Basri, keluarga Jadid, keluarga Alwi, keluarga Bafadhal, keluarga Baharmi, keluarga Bamahsun, keluarga Bamarwan, keluarga Ba'Isa, keluarga Ba'ubaid dan lainnya. Akhlaq dan kebiasaan kaum Alawiyin. Kaum Alawiyin tetap dalam kebiasaan mereka menuntut ilmu agama, hidup zuhud di dunia (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi) dan mereka juga menghindar dari popularitas (syuhrah). Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata: " Syuhrah bukan adat kebiasaan kami, kaum Alawiyin … " selanjutnya beliau berkata: " kedudukan kami para sayid Alawiyin tidak dikenal orang. Jadi tidak seperti yang ada pada beberapa wali selain mereka (kaum Alawiyin), yang umumnya mempunyai sifat-sifat berlainan dengan sifat-sifat tersebut. Sifat tersebut merupakan soal besar dalam bertaqarrub kepada Allah dan dalam memelihara keselamatan agama (kejernihan iman)." Imam al-Haddad berkata pula: " Dalam setiap zaman selalu ada wali-wali dari kaum Alawiyin, ada yang dzahir (dikenal) dan ada yang khamil (tidak dikenal). Yang dikenal tidak perlu banyak, cukup hanya seorang saja dari mereka, sedangkan yang lainnya biarlah tidak dikenal. Dari satu keluarga dan dari satu negeri tidak perlu ada dua atau tiga orang wali yang dikenal. Soal al-sitru (menutup diri) berdasarkan dua hal: pertama, seorang wali menutup dirinya sendiri hingga ia sendiri tidak tahu bahwa dirinya adalah wali. Kedua, wali yang menutup dirinya dari orang lain, yakni hanya dirinya sendiri yang mengetahui bahwa dirinya wali, tetapi ia menutup (merahasiakan) hal itu kepada orang lain. Orang lain tidak mengetahui sama sekali bahwa ia adalah wali. Sehubungan dengan tidak tampaknya para wali, Habib Abdullah al-Haddad menulis syair: "Apakah mereka semua telah mati, apakah mereka semua telah musnah, ataukah mereka bersembunyi, karena semakin besarnya fitnah." Tidak tampaknya para wali merupakan hikmah Allah, begitu pula tampaknya para wali. Tampak atau tidak tampak, para wali bermanfaat bagi manusia. Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ditanya: "Apakah manfaat dari ketidak tampakan para wali ?". Beliau menjawab: "Tidak tampaknya para wali bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi wali itu sendiri. Sebab, sang wali dapat beristirahat dari manusia dan manusia tidak beradab buruk kepadanya. Mungkin kau meyakini kewalian seseorang, tetapi setelah melihatnya kau lalu berprasangka buruk. Seorang yang saleh bukanlah orang yang mengetahui kebenaran melalui kaum sholihin. Akan tetapi orang saleh adalah orang yang mengenal kaum sholihin melalui kebenaran." Sayid Ahmad bin Toha berkata kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, "Aku tidak tahu bagaimana para salaf kita mendapatkan wilayah (kasyaf), padahal usia mereka masih sangat muda. Adapun kita, kita telah menghabiskan sebagian besar umur kita, namun tidak pernah merasakan walau sedikitpun. Aku tidak mengetahui yang menyebabkan itu ?". Habib Ali lalu menjawab:"Ketaatan dari orang yang makannya haram, seperti bangunan didirikan di atas gelombang. Karena ini dan juga karena berbagai sebab lain yang sangat banyak. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi seseorang daripada bergaul dengan orang-orang jahat. Majlis kita saat ini menyenangkan dan membangkitkan semangatmu. Ruh-ruh mengembara di tempat ini sambil menikmati berbagai makanan hingga ruh-ruh itu menjadi kuat. Namun, sepuluh majlis lain kemudian mengotori hatimu dan merusak apa yang telah kau dapatkan. Engkau membangun, tapi seribu orang lain merusaknya. Apa manfaatnya membangun jika kemudian dirusak lagi ? kau ingin meningkat ke atas tapi orang lain menyeretmu ke bawah." Menurut ulama ahlul kasyaf , wali quthub adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Quthub biasa pula disebut Ghauts (penolong), dan termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan. Selain itu, ia dipandang sebagi pemegang jabatan khalifah lahir dan bathin. Wali quthub memimpin pertemuan para wali secara teratur, yang para anggotanya hadir tanpa ada hambatan ruang dan waktu. Mereka datang dari setiap penjuru dunia dalam sekejap mata, menembus gunung, hutan dan gurun. Wali quthub dikelilingi oleh dua orang imam sebagai wazirnya. Di samping itu, ada pula empat orang autad (pilar-pilar) yang bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi. Masing-masing dari empat orang autad itu berdomisili di arah Timur, Barat, Utara dan Selatan dari Ka'bah. Selain itu, terdapat pula tiga orang nuqaba', tujuh abrar, empat puluh wali abdal, tiga ratus akhyar dan empat ribu wali yang tersembunyi. Para wali adalah pengatur alam semesta, setiap malam autad mengelilingi seluruh alam semesta dan seandainya ada suatu tempat yang terlewatkan dari mata mereka, keesokkan harinya akan tampak ketidaksempurnaan di tempat itu dan mereka harus memberitahukan hal ini kepada wali quthub, agar ia dapat memperhatikan tempat yang tidak sempurna tadi dan dengan kewaliannya ketidaksempurnaan tadi akan hilang. Seorang wali quthub, al-Muqaddam al-Tsani, Syaikh Abdurahman al-Saqqaf beliau terkenal di mana-mana, ia meniru cara hidup para leluhurnya (aslaf), baik dalam usahanya menutup diri agar tidak dikenal orang lain maupun dalam hal-hal yang lain. Dialah yang menurunkan beberapa Imam besar seperti Syaikh Umar Muhdhar, Syaikh Abu Bakar al-Sakran dan anaknya Syaikh Ali bin Abu Bakar al-Sakran, Syaikh Abdullah bin Abu Bakar yang diberi julukan al-'Aidrus. Syaikh Abdurahman al-Saqqaf selalu berta'abbud di sebuah syi'ib pada setiap pertiga terakhir setiap malam. Setiap malam ia membaca Alquran hingga dua kali tamat dan setiap siang hari ia membacanya juga hingga dua kali tamat. Makin lama kesanggupannya tambah meningkat hingga dapat membaca Alquran empat kali tamat di siang hari dan empat kali tamat di malam hari. Ia hampir tak pernah tidur. Menjawab pertanyaan mengenai itu ia berkata, "Bagaimana orang dapat tidur jika miring ke kanan melihat surga dan jika miring ke kiri melihat neraka ?". Selama satu bulan beliau beruzlah di syi'ib tempat pusara Nabi Hud, selama sebulan itu ia tidak makan kecuali segenggam (roti) terigu. Demikianlah cara mereka bermujahadah dan juga cara mereka ber-istihlak ( mem-fana'-kan diri ) di jalan Allah SWT. Semuanya itu adalah mengenai hubungan mereka dengan Allah. Adapun mengenai amal perbuatan yang mereka lakukan dengan sesama manusia, para sayyid kaum 'Alawiyin itu tidak menghitung-hitung resiko pengorbanan jiwa maupun harta dalam menunaikan tugas berdakwah menyebarluaskan agama Islam Sumber : Wasiat nasihat

Qosidah Karangan Al'imam Al'Habib Abdullah Bin Alwy Al'Haddad (Shohibur Ratib AlHaddad) 1030

قَدِ اسْتَعَنْتُكَ رَ بِّي عَلَى مُدَ ا وَاةِ قَلْبِى وَحَلِّ عُقْدَةَ كَرْ بِي فَانْطُرْإِلَىالْغَمِّ يَنْجَالْ Sungguh aku telah memohon pertolongan Mu Wahai Penciptaku untuk mengobati penyakit hatiku dan melepaskan ikatan ikatan kesulitanku, maka lihatlah dan pandanglah dengan kasih sayang Mu kepada kegelisahanku yang berkobar. يَارَبِّ يَاخَيْرَ كَا فِي اُحْلُلْ عَلَيْنَا الْعَوَافِي فَلَيْسَ شَيْء ثَمَّ خَافِِي عَلَيْكَ تَفْصِيْل وَإِجْمَالْ Wahai Penciptaku, Wahai sebaik-baik yang mencukupi hamba-Nya limpahkanlah atas kami kesembuhan-kesembuhan (kesembuhan hati dan jasmani) hingga tidak tersisa sedikitpun, atas-Mu lah segala perincian dan ringkasan masalah. يَارَبِّ عَبْدُ كَ بِبَا بِكَ يَخْشَى أَلِيْمَ عَذَا بِكَ وَيَرْ تَجِي لِثَوَا بِكَ وَغَوْثُ رَحْمَتِكَ هَطَّالْ Wahai Pencipta hamba-Mu tegak di pintu-Mu, merisaukan pedihnya siksa dan sangat mengharapkan ganjaran dan derasnya Rahmat-Mu yang sangat lebat. وَقَدْ أَتَا كَ بِعُذْ رِهِ وَبِا نْكِسَا رِهِ وَفَقْرِهِ فاهْذِ مْ بِيُسْرِك عُسْرِهِ بِمَحْضِ جُوْدِك وَالإ فضالِ Dan hamba-Mu telah dating kepada-Mu dengan kehinaan dan segala kelemahan dan dengan hati yang hancur dan dengan kemiskinannya. Maka musnahkanlah dengan kemudahan-Mu segala kesulitannya dengan limpahan kemurahan-Mu dan anugrah-Mu yang agung. وَامْنُنْ عَلَيْهِ بِتَوْبَةٍ تَغْشِلْهُ مِنْ كُلِّ حَوْبَةٍ وَاعْصِمْهُ مِنْ شَرِّأَوْبَةٍ لِكُلِّ مَا عَنْهُ قَدْ حَالْ Dan anugerahkanlah kepadanya taubat dengan siraman yang memandikannya dari setiap kotoran. Dan lindungilah ia dari keburukan tempat kembali, dari apa yang telah menimpanya dari segala kehinaan. فَأَ نْتَ مَوْلَىالْمَوَالِي اَلْمُنْفَرِدُ بِا لْكَمَا لِ وَبِالْعُلاَ وَالتَّعَالِي عَلَوْتَ عَنْ ضَرْبِ اْلأَمْثَالْ Maka Engkau adalah raja dari para raja yang tunggal dalam kesempurnaan. Dan dengan segala ketinggian dan keluhuran maka engkau telah teragungkan dari segala yang dicontohkan atas-Mu. جُوْدُكَ وَفَضْلُكَ وَبِرُّكَ يُرْجىوَبَطْشُكَ وَقَهْرُكَ يُخْشَى وَذِكْرُكَ وَشُكْرُكَ لاَزِمُ وَحَمْدُكَ وَاْلإِجْلاَ لْ Kemurahan-Mu, Anugerah-Mu dan kasih sayang-Mu sangat diharapkan, dan kemurkaan-Mu serta kemarah-Mu sangat dirisaukan, maka mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu merupakan kewajiban demikian pula pujian kepada-Mu dan pengagungan atas-Mu. يَا رَبِّ أَنْتَ نَصِيْرِيْ فَلَقِّنِيْ كُلَّ خَيْرِيْ وَاجْعَلْ جِنَانَكَ مَصِيْرِيْ وَاخْتِمِ بِاْلإِ يْمَانِ اْلاجَالِ Wahai pencipta, Engkau adalah penolongku maka pertemukanlah aku kepada setiap perlakuan baikku, jadikanlah surga-Mu sebagai tempat kembaliku dan jadikanlah akhir hidupku dengan keimanan. وَصَلِّ فِي كُلِّ حَالَةٍ عَلَىمُزِيْلِ الضَّلاَ لَةِ مَنْ كَلْمَتْهُ الْغَزَالَةَ مُحَمَّدِ اهَادِيِ الدَّالِ Dan shalawat pada setiap keadaan-Nya ats penghapus segala kebhatilan (SAW) yang telah berbicara kepada seekor kijang, Muhammad pemberi hidayah dan petunjuk. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ شُكْرًا عَلَىنِعَمِ مِنْهُ تَتْرًى نَحْمَدُهُ سِرًّا وَجَهْرًا وَبِالْغَدَايَاوَاْلأَصَالِ Dan segala puji bagi Allah dan syukur atas ni’mat-ni’mat-Nya yang berlimpah, kami memuji-Nya dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan pada pagi dan sore.

MAULID NABI SAW BID'AH ATAU SUNNAH ???

Bismillahirrohmanirrohim ….. Allohumma Sholly A’laa Sayyidina Muhammad …..   Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin(l. 549 H. w.630 H.), menurut Imam Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang meriah luar biasa [. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini. Imam Al-Hafidz Ibnu Wajih menyusun kitab maulid yang berjudul “Al-Tanwir fi Maulidi al-Basyir al-Nadzir”. Konon kitab ini adalah kitab maulid pertama yang disusun oleh ulama. Di negeri kita tercinta ini, meskipun tidak dapat disebut sebagai Negara Islam, banyak masyarakat yang merayakannya dan telah menjadi tradisi mereka. Pemerintah pun telah menjadikan peringatan ini salah satu agenda rutin dan acara kenegaraan tahunan yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara serta para duta besar negara-negara sahabat berpenduduk Islam. Hari peringatan maulid Nabi tekah telah disamakan dengan hari-hari besar keagamaan lainnya. Pendapat Ulama dan Silang pendapat mengenai perayaan Maulid Nabi Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid'ah. Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Seperti yang terjadi di salah satu kota Pakistan tahun 2006 lalu, peringatan maulid berakhir dengan banjir darah karena dipasang bom oleh kalangan yang tidak menyukai maulid.     Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah sejarah pemikiran Islam tentang peringatan maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup ulama dominan yang dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran.     Pendapat Ibnu Taymiyah:     Ibnu Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim (2/83-85) mengatakan: "Rasululullah s.a.w. telah melakukan kejadian-kejadian penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan Makkah, Hijrah, Masuk Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan hari raya, karena yang melakukan seperti itu adalah umat Nasrani atau Yahudi yang menjadikan semua kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan bagian dari syariat, apa yang disyariatkan itulah yang diikuti, kalau tidak maka telah membuat sesuatu yang baru dalam agama. Maka apa yang dilakukan orang memperingati maulid, antara mengikuti tradisi Nasrani yang memperingati kelahiran Isa, atau karena cinta Rasulullah. Allah mungkin akan memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak atas bid'ah dengan menjadikan maulid nabi sebagai hari raya. Orang-orang salaf tidak melakukan itu padahal mereka lebih mencintai rasul". Namun dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu Taymiyah menambahkan:"Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SA. Seperti yang telah saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu kalangan orang, padahal itu dianggap kurang baik oleh kalangan mu'min yang ketat. Suatu hari pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang tindakan salah seorang pejabat yang menyedekahkan uang 100 dinar untuk membuat mushaf Qur'an, beliau menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik bagi dia untuk menyedekahkan emasnya". Padahal madzhab Imam Ahmad mengatakan bahwa menghiasi Qur'an hukumnya makruh. Tujuan Imam Ahmad adalah bahwa pekerjaan itu ada maslahah dan ada mafsadahnya pula, maka dimakruhkan, akan tetapi apabila tidak diperbolehkan, mereka itu akan membelanjakan uanngnya untuk kerusakan, seperti membeli buku porno dsb. Pahamilah dengan cerdas hakekat agama, lihatlah kemaslahatan dalam setiap pekerjaan dan kerusakannya, sehingga kamu mengetahui tingkat kebaikan dan keburukan, sehingga pada saat terdesak kamu bisa memilih mana yang terpenting, inilah hakekat ilmu yang diajarkan Rasulullah. Membedakan jenis kebaikan, jenis keburukan dan jenis dalil itu lebih mudah. Sedangkan mengetahui tingkat kebaikan, tingkat keburukan dan tingkat dalil itu pekerjaan para ulama. Selanjutnya Ibnu Taymiyah menjelaskan tingkat amal solih itu ada tiga. Pertama Amal sholeh yang masyru' (diajarkan) dan didalamnya tidak ada kemaruhan sedikitpun. Inilah sunnah murni dan hakiki yang wajib dipelajari dan diajarkan dan inilah amalan orang solih terdahulu dari zaman muhajirin dan anshor dan pengikutnya. Kedua: Amal solih dari satu sisi, atau sebagian besar sisinya berisi amal solih seperti tujuannya misalnya, atau mungkin amal itu mengandung pekerjaan baik. Amalan-amalan ini banyak sekali ditemukan pada orang-orang yang mengaku golongan agama dan ibadah dan dari orang-orang awam juga. Mereka itu lebih baik dari orang yang sama sekali tidak melakukan amal solih, lebih baik juga daripada orang yang tidak beramal sama sekali dan lebih baik dari orang yang amalannya dosa seperti kafir, dusta, hianat, dan bodoh. Orang yang beribadah dengan ibadah yang mengandung larangan seperti berpuasa lebih sehari tanpa buka (wisal), meninggalkan kenikmatan tertentu (mubah yang tidak dilarang), atau menghidupkan malam tertentu yang tidak perlu dikhususkan seperti malam pertama bulan Rajab, terkadang mereka itu lebih baik dari pada orang pengangguran yang malas beribadah dan melakukan ketaatan agama. Bahkan banyak orang yang membenci amalan-amalan seperti ini, ternyata mereka itu pelit dalam melakukan ibadah, dalam mengamalkan ilmu, beramal solih, tidak menyukai amalan dan tidak simpatik kepadanya, tetapi tidak juga mengantarkannya kepada kebaikan, misalnya menggunakan kemampuannya untuk kebaikan. Mereka ini tingkah lakunya meninggalkan hal yang masyru' (dianjurkan agama) dan yang tidak masyru' (yang tidak dianjurkan agama), akan tetapi perkatannya menentang yang tidak masyru' (yang tidak diajarkan agama). Ketiga: Amalan yang sama sekali tidak mengandung kebaikan, karena meninggalkan kebaikan atau mengandung hal yang dilarang agama. (ini hukumnya jelas).   Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami:   "Bid'ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah". Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi):   "Termasuk yang hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam semesta". Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa Kubro menjelaskan:   "Asal  melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid'ah yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke Madina, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada haru Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab:"Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur'an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah s.a.w. di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur'an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rauslullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu, kalau itu mubah maka hukumnya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya". Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Syarh Mawahib Ladunniyah mengatakan:   "Melakukan perayaan, memberi makan orang disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa gembira dan senang dengan kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan bulan itu. Tidaklah sesuatu yang bid'ah selalu makruh dan dilarang, banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan bahkan diwajibkan". Imam Suyuti berkata:     Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW yang mulia". Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf mengatakan:   "Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak syukur dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat dilahirkannya Rasulullah s.a.w. di alam dunia ini. Memperingatinya sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu' dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan kemungkaran. Dan termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah, menjalin silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk dilakukan termasuk sunnah hasanah". Seorang ulama Turkmenistan Mubasshir al-Thirazi mengatakan:"Mengadakan perayaan maulid nabi Muhammad s.a.w. saat ini bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, untuk mengkonter perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini sangat banyak kita temukan di masyarakat" Dalil-dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan Maulid Nabi s.a.w.     1. Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada kita. Allah SWT berfirman: قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ   “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. QS.Yunus:58.   2. Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah Hadits dinyatakan:   عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم   "Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi). 3. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa Abu Lahab setiap hari senin diringankan siksanya dengan sebab memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan kegembiraannya atas kelahiran Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Qur'an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW. Kesimpulan Hukum Maulid Melihat dari pendapat-pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu seputar peringatan maulid adalah sebagai berikut: 1. Malarang maulid karena itu termasuk bid'ah dan tidak pernah dilakukan pada zaman ulama solih pertama Islam. 2. Memperbolehkan perayaan maulid Nabi, dengan syarat diisi dengan amalan-amalan yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad dan ekspresi kecintaan kepada beliau. 3. Menganjurkan maulid, karena itu merupakan tradisi baik yang telah dilakukan sebagian ulama terdahulu dan untuk mengkonter perayaan-perayaan lain yang tidak Islami.     Jadi masalah maulid ini seperti beberapa masalah agama lainnya, merupakan masalah khilafiyah, yang diperdebatkan hukumnya oleh para ulama sejak dulu. Sebaiknya umat Islam melihatnya dengan sikap toleransi dan saling menghargi mengenai perbedaan pendapat ini. Tidak selayaknya mengklaim paling benar dan tidak selayaknya menuduh salah lainnya.     Bahkan kalau dicermati, sebenarnya pendapat yang melarang dan yang memperbolehkan perayaan maulid tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama membela kecintaan mereka kepada Rasulullah s.a.w. Maka sangat disayangkan kalau umat Islam yang sama-sama dengan dalih mencintai Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling menyakiti.     Etika merayakan Maulid Nabi Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi tidak melenceng dari aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:     1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً   "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". QS. Al-Ahzab:56.     2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah. Syekh Husnayn Makhluf berkata: "Perayaan maulid harus dilakukan dengan berdzikir kepada Allah SWT, mensyukuri kenikmatan Allah SWT atas kelahiran Rasulullah SAW, dan dilakukan dengan cara yang sopan, khusyu' serta jauh dari hal-hal yang diharamkan dan bid'ah yang munkar 3. Membaca sejarah Rasulullah s.a.w. dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau. 4. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin. 5. Meningkatkan silaturrahmi. 6. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah s.a.w. di tengah-tengah kita. 7. Mengadakan pengajian atau majlis ta'lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuri tauladani Rasulullah s.a.w.   Jika timbul pertanyaan, perayaan maulid yang datangnya pada bulan Robi'ul Awwal, juga bertepatan dengan bulan wafat Rasulullah SAW, mengapa tidak ada luapan kesedihan  atas wafatnya beliau? Imam Suyuthi menjelaskan: "Kelahiran Nabi SAW adalah kenikmatan terbesar untuk kita, sementara wafatnya beliau adalah musibah terbesar atas kita. Sedangkan syariat memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta diam dan merahasiakan atas cobaan yang menimpa. Terbukti agama memerintahkan untuk menyembelih kambing sebagai 'aqiqoh pada saat kelahiran anak, dan tidak memerintahkan menyembelih hewan pada saat kematian, maka kaidah syariat menunjukkan bahwa yang baik pada bulan ini adalah menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW bukan menampakkan kesusahan atas musibah yang menimpa". [4]     Oleh karena hakekat dari perayaan maulid adalah luapan rasa syukur serta penghormatan kepada Rasulullah SAW, sudah semestinya tidak dinodai dengan kemunkaran-kemunkaran dalam merayakannya. Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, tampilnya perempuan di atas pentas dihadapan kaum laki-laki, alat-alat musik yang diharamkan dan lain-lain. Begitu juga peringatan maulid tidak seharusnya digunakan untuk saling provokasi antar kelompok Islam yang berujung pada kekerasan antar kelompok. Sebab jika demikian yang terjadi, maka bukanlah penghormatan yang didapat akan tetapi justru penghinaan kepada Rasulullah SAW.   Wallohu A’lam

Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW

Dalam pengajian-pengajian maulid, para muballigh di surau-surau sering mengumandangkan ucapan-ucapan yang diklaim sebagai sabda Nabi saw. Ucapan-ucapan itu adalah, “Barangsiapa mengagungkan hari kelahiranku, maka kelak ia akan tinggal di surga bersamaku,” atau ‘hadis’ lain seperti, “Barangsiapa mendermakan satu dirham untuk merayakan hari kelahiranku maka tak ubahnya ia mendermakan emas sebesar Gunung Uhud,” dan lain sebagainya. ‘Hadis-hadis’ ini dalam kitab-kitab koleksi Hadis yang muktabar (kitab-kitab yang secara ilmiyah dapat dijadikan standar rujukan Hadis) tidak pernah didapati. Apakah gerangan para penulis Hadis lupa sehingga tidak mencantumkan ‘hadis-hadis’ itu dalam kitab-kitab mereka, atau memang ‘hadis-hadis’ itu tidak pernah ada karena memang Nabi Muhammad s.a.w. tidak pernah bersabda seperti itu? Seandainya ‘hadis-hadis’ itu pernah ada karena Nabi Muhammad saw. pernah bersabda demikian, sedangkan para penulis Hadis lupa sehingga tidak mencantumkannya di dalam kitab-kitab mereka, maka paling tidak ada catatan yang menunjukkan bahwa para Sahabat Nabi saw., para Tabi’in, dan para Ulama Salaf (Klasik) pernah mengamalkan maksud ‘hadis-hadis’ tersebut. Namun ternyata catatan seperti itu juga tidak ada. Bahkan sampai awal abad ke- 7 hijri belum ada catatan yang menunjukkan adanya ulama atau tokoh sejarah yang mengamalkan maksud ‘hadis-hadis’ tersebut. Atau dengan kata lain, sampai awal abad ke-7 hijri belum ada seorang pun yang mengamalkan maksud ‘hadis-hadis’ tersebut, karena memang ‘hadis-hadis’ tersebut tidak pernah ada dalam sejarah. Apabila pada masa belakangan ‘hadis-hadis’ tersebut beredar di kalangan masyarakat, maka dapat dipastikan bahwa hal itu merupakan bikinan orang-orang belakangan, sehingga menurut disiplin Ilmu Hadis, ‘hadis-hadis’ maulid tersebut disebut sebagai hadis palsu atau hadis maudhu’, karena Nabi Muhammad saw., tidak pernah bersabda demikian. Al-Malik al-Mudhaffar Syekh Ali Tantawi (w. 1421 H) dalam kitabnya Rijal min al-Tarikh (Tokoh-tokoh Sejarah) menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi saw., adalah al-Malik al-Mudhaffar. Ia adalah salah seorang panglima perang pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Gelar al-Malik yang disandangnya tidak menunjukkan bahwa ia seorang kepala negara, sebab kepala daerah pada masa itu juga disebut al-malik. Al-Malik al-Mudhaffar di samping dikenal sebagai panglima perang yang gagah berani juga dikenal sebagai pemimpin yang adil dan dermawan. Sampai al-Qadhi Ibnu Khallikan yang hidup semasa dengannya merasa kagum dengan sifat kedermawanannya itu. Hal itu karena al-Malik al-Mudhaffar tidak hanya membantu orang-orang miskin, mendirikan rumah sakit-rumah sakit dan penginapan-penginapan gratis, melainkan ia tercatat sebagai orang pertama yang menyediakan air yang berlimpah-ruah pada malam Wukuf di Arafah, padahal pada malam itu semua orang yang sedang menunaikan ibadah haji kesulitan memperoleh air. Festival Maulid Sejarawan terkemuka al-Qadhi Ibnu Khallikan menuturkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh al-Malik alMudhaffar pada saat itu bukanlah merupakan acara keagamaan seperti layaknya sebuah majelis ta’lim, atau pengajian dan sebagainya. Tetapi lebih tepat disebut sebagai pasar malam, pesta maulid, atau festival maulid. Kota Irbil di Irak pada saat itu penuh dibanjiri manusia. Mereka datang dari berbagai penjuru kota dan daerah-daerah sekitarnya seraya membawa barang-barang dagangan dan hasil kerajinannya. Tenda-tenda juga dipasang di sana-sini, dihiasi bendera umbul-umbul dan lampu-lampu berwarna-warni. Perayaan ini dimulai pada bulan Shafar. Dan sejak saat itu sekolah-sekolah diliburkan. Para artis baik penyanyi, pemain drama dan lain-lain juga tidak ketinggalan setiap malam ikut ambil bagian untuk menampilkan kebolehannya. Sementara al-Malik al-Mudhaffar tiap malam berkeliling ke arena-arena pertunjukan sambil membagi-bagikan hadiah. Puncak acara perayaan maulid itu diadakan pada tanggal delapan atau dua belas Rabiulawal. Pertama kali, ribuan binatang ternak, terdiri dari domba, sapi dan onta diarak keliling arena, diiringi bunyi-bunyian genderang, rebana, terompet dan sebagainya, marching band, kalau zaman sekarang. Sementara orang-orang mengikutinya dari belakang sambil mengibarkan bendera-bendera warna-warni. Sebagian ada yang meniup seruling. Ribuan binatang ternak itu selanjutnya disembelih untuk konsumsi ‘perayaan maulid’. Sesudah sembahyang Isya, al-Malik al-Mudhaffar keluar dari Istana dengan membawa lilin besar. Kemudian diikuti oleh orang-orang banyak, dan semuanya membawa obor. Mereka berjalan berarak-arakan menuju tempat yang biasa dipakai berkhalwat oleh orang-orang sufi. Esok harinya, al-Malik al-Mudhaffar duduk di panggung kehormatan yang berada di pinggir alun-alun, bersama para pejabat pemerintahan lainnya. Acara perayaan dimulai dengan parade militer. Lalu disusul oleh jamaah orang-orang sufi dan para penyair. Kemudian disusul oleh rombongan pelajar. Dan yang paling belakang adalah rakyat biasa. Setelah semuanya berkumpul di alun-alun, para ahli pidato tampil satu persatu untuk menunjukkan kebolehannya dalam berpidato. Setelah mereka selesai, kini para penyair satu-persatu membacakan puisi. Sementara al-Malik al-Mudhaffar sudah menyiapkan hadiah-hadiah menarik untuk mereka. Sesudah penampilan-penampilan itu selesai, acara ditutup dengan makan bersama. Untuk mengabadikan peristiwa itu, al-Hafidh Ibnu Dihyah menulis buku tentang perayaan maulid, dan buku itu merupakan buku yang pertama kali membahas perayaan maulid. Dan itulah tadi peringatan atau perayaan Maulid Nabi yang diadakan pertama kali dalam sejarah. Sedang si empunya ambisi, al-Malik al-Mudhaffar tadi, wafat pada malam Rabu, 18 Ramadhan 630 H. Kontroversial Sampai saat ini para ulama masih berbeda pendapat tentang hukum merayakan maulid Nabi saw. Mufti Besar Kerajaan Saudi Arabia, Syeikh Abdul Aziz bin Baz (w. 1421 H) berpendapat bahwa mengadakan perayaan maulid Nabi saw., itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw., maupun para Sahabat beliau, begitu pula para Tabi’in dan para Ulama Salaf. Memperingati hari kelahiran Nabi saw., termasuk perbuatan mengada-ada dalam agama, atau menurut istilah yang populer adalah bid’ah. Karena itu hukumnya juga haram. Sementara ulama lain seperti Syekh Ali Tantawi yang disebut di muka tadi itu, dan juga menjadi pengasuh acara Nur wa Hidayah dalam Televisi Saudi Arabia, begitu pula Syekh Dr. Ahmad al-Syurbashi dalam kitabnya Yas’alunaka fi al-Din wa al-Hayah berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi saw., itu perlu dilihat isinya. Apabila peringatan itu diisi dengan pengajian agama, penerangan tentang sejarah kehidupan Nabi saw., agar ditiru oleh umatnya, maka hal itu perlu dikerjakan. Sebab acara seperti itu pada hakikatnya adalah pekerjaan ma’ruf yang perlu dilakukan setiap saat. Namun apabila peringatan Maulid Nabi saw., itu diisi dengan acara-acara maksiat, pemborosan, kemungkaran dan lain sebagainya, maka kedua tokoh tadi sependapat bahwa hal itu hukumnya tidak boleh atau haram. Namun yang perlu dicatat di sini bahwa dalam hal peringatan maulid Nabi saw., itu dibolehkan, para ulama tidak berbeda pendapat bahwa penggunaan ‘hadis-hadis maulid’ seperti yang disebutkan di depan itu hukumnya tidak boleh. Sebab menggunakan, menyebutkan atau menyampaikan ‘hadis-hadis’ tersebut berarti menisbahkan ucapan-ucapan kepada Nabi Muhammad saw, sementara beliau tidak pernah bersabda seperti itu. Perbuatan seperti inilah yang antara lain diancam oleh Nabi saw sendiri dalam sabdanya, Barangsiapa dengan sengaja mendustakan saya, maka hendaknya ia siap-siap duduk di atas bara api neraka.

Kitab Kimyatusy- Sya'adah - Imam Ghozali r.a

Dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi oleh para musafir di tengah perjalannya ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan berbagai perbekalan untuk perjalanan itu. Jelasnya, di sini manusia dengan menggunakan indera-indera jasmaniahnya, memperoleh sejumlah pengetahuan tentang karya-karya Allah serta, melalui karya-karya tersebut, tentang Allah sendiri. Suatu pandangan tentang-Nya akan menentukan kebahagiaan masa-depannya. Untuk memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke alam air dan lempung ini. Selama indera-inderanya masih tinggal bersamanya, dikatakan bahwa ia berada di "alam ini". Jika kesemuanya itu pergi dan hanya sifat-sifat esensinya saja yang tinggal, dikatakan ia telah pergi ke "alam lain". Sementara manusia berada di dunia ini ada dua hal yang perlu baginya. Pertama, perlindungan dan pemeliharaan jiwanya; kedua, perawatan dan pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya, sebagaimana ditunjukkan di atas, adalah pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Terserap ke dalam kecintaan akan segala sesuatu selain Allah berarti keruntuhan jiwa. Jasad bisa dikatakan sebagai sekadar hewan tunggangan jiwa dan musnah, sementara jiwa terus abadi. Jiwa mesti merawat badan persis sebagaimana seorang peziarah, dalam perjalanannya ke Makkah, merawat ontanya. Tetapi jika sang peziarah menghabiskan waktunya untuk memberi makan dan menghiasi ontanya, kafilah pun akan meninggalkannya dan ia akan mati di padang pasir. Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah manusia itu sederhana saja, hanya terdiri dari tiga hal; makanan, pakaian dan tempat tinggal. Tetapi nafsu-nafsu jasmaniah yang tertanam di dalam dirinya dan keinginan untuk memenuhinya cenderung untuk memberontak melawan nalar yang lebih belakangan tumbuh dari nafsu-nafsu itu. Sesuai dengan itu, sebagaimana kita lihat di atas, mereka perlu dikekang dan dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan yang disebarkan oleh para nabi. Sedangkan mengenai dunia yang mesti kita garap, kita dapati ia terkelompokkan dalam tiga bagian, hewan, tetumbuhan dan barang tambah. Produk-produk dari ketiganya terus-menerus dibutuhkan oleh manusia dan telah mengembangkan tiga pekerjaan besar; pekerjaan para penenun, pembangun dan pekerja logam. Sekali lagi, semuanya itu memiliki banyak cabang yang lebih rendah seperti penjahit, tukang batu dan tukang besi. Tidak ada daripadanya yang bisa sama sekali bebas dari yang lain. Hal ini menimbulkan berbagai macam hubungan perdagangan dan seringkali mengakibatkan kebencian, iri hari, cemburu dan lain-lain penyakit jiwa. Karenanya timbullah pertengkaran dan perselisihan, kebutuhan akan pemerintahan politik dan sipil serta ilmu hukum. Demikianlah, pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis di dunia ini telah menjadi semakin rumit dan menimbulkan kekacauan. Sebab utamanya adalah manusia telah lupa bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sebenarnya hanya tiga; pakaian, makanan dan tempat tinggal, dan bahwa kesemuanya itu ada hanya demi menjadikan jasad sebagai kendaraan yang layak bagi jiwa di dalam perjalanannya menuju dunia berikutnya. Mereka terjerumus ke dalam kesalahan yang sama sebagaimana sang peziarah menuju Makkah yang, karena melupakan tujuan ziarah dan dirinya sendiri, terpaksa menghabiskan seluruh waktunya untuk memberi makan dan menghiasi ontanya. Seseorang pasti akan terpikat dan terseibukkan oleh dunia - yang oleh Rasulullah dikatakan sebagai tukang sihir yang lebih kuat daripada Harut dan Marut - kecuali jika orang tersebut menyelenggarakan pengawasan yang paling ketat. Watak penipu dari dunia ini bisa mengambil berbagai bentuk. Pertama, ia berpura-pura seakan-akan bakal selalu tinggal dengan anda, sementara nyatanya ia pelan-pelan menyingkir dari anda dan menyampaikan salam perpisahan, sebagaimana suatu bayangan yang tampaknya tetap, tetapi kenyatannya selalu bergerak. Demikian pula, dunia menampilkan dirinya di balik kedok nenek sihir yang berseri-seri tetapi tak bermoral, berpura-pura mencintai anda, menyayangi anda dan kemudian membelot kepada musuh anda, meninggalkan anda mati merana karena rasa kecewa dan putus asa. Isa a.s. melihat dunia terungkapkan dalam bentuk seorang wanita tua yang buruk muka. Ia bertanya kepada wanita itu, berapa banyak suami yang dipunyainya, dan mendapat jawaban, jumlahnya tak terhitung. Ia bertanya lagi, telah matikah mereka ataukah diceraikan. Kata si wanita, ia telah memenggal mereka semua. "Saya heran", kata Isa a.s., "atas kepandiran orang yang melihat apa yan gtelah kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi masih tetap menginginimu." Wanita sihir ini mematut dirinya dengan pakaian indah-indah dan penuh permata, menutupi mukanya dnegan cadar, kemudian mulai merayu manusia. Sangat banyak dari mereka yang mengikutinya menuju kehancuran diri mereka sendiri. Rasulullah saw. Bersabda bahwa di Hari Pengadilan, dunia ini akan tampak dalam bentuk seorang nenek sihir yang seram, dengan mata yang hijau dan gigi bertonjolan. Orang-orang yang melihat mereka akan berkata, "Ampun! Siapa ini?" Malaikat pun akan menjawab, "Inilah dunia yang deminya engkau bertengkar dan berkelahi serta saling merusakkan kehidupan satu sama lain." Kemudian wanita itu akan dicampakkan ke dalam neraka sementara dia menjerit keras-keras, "Oh Tuhan, di mana pencinta-pencintaku dahulu?" Tuhan pun kemudian akan memerintahkan agar mereka juga dilemparkan mengikutinya. Siapa pun yang mau secara serius merenung tentang keabadian yang telah lalu, akan melihat bahwa kehidupan ini seperti sebuah perjalanan yang babakannya dicerminkan oleh tahun, liga-liga (ukuran jarak, kira-kira sama dengan tiga mil) oleh bulan, mil-mil oleh hari, dan langkah-langkah oleh saat. Kemudian, kata-kata apa yang bisa menggambarkan ketololan manusia yang berupaya untuk menjadikannya tempat tinggal abadi dan membuat rencana-rencana untuk sepuluh tahun mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi tak pernah ia butuhkan, karena sangat mungkin ia sepuluh hari lagi sudah berada di bawah tanah. Orang-orang yang telah mengumbar diri tanpa batas dengan kesenangan-kesenangan dunia ini, pada saat kematiannya akan seperti seseorang yang memenuhi perutnya dengan bahan makanan terpilih dan lezat, kemudian memuntahkannya. Kelezatannya telah hilang, tetapi ketidak-enakannya tinggal. Makin berlimpah harta yang telah mereka nikmati - taman-taman, budak-budak laki dan perempuan, emas, perak dan lain sebagainya - akan makin keraslah mereka rasakan kepahitan berpisah dari semuanya itu. Kepahitan ini akan terasa lebih berat dari kematian, karena jiwa yan gtlah menjadikan ketamakan sebagai suatu kebiasaan tetap akan menderita di dunia yang akan datang akibat kepedihan nafsu-nafsu yang tak terpuasi. Sifat berbahaya lainnya dari benda-benda duniawi adalah bahwa pada mulanya mereka tampak sebagai sekadar hal-hal sepele, tetapi hal-hal yang dianggap sepele ini masing-masing bercabang tak terhitung banyaknya sampai menelan seluruh waktu dan energi manusia. Isa a.s. bersabda: "Pencinta dunia ini seperti seseorang yang minum air laut; makin banyak minum, makin hauslah ia sampai akhirnya mati akibat kehausan yang tak terpuasi," Rasulullah saw. bersabda: "Engkau tak bisa lagi bercampur dengan dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana engkau tak bisa menyelam dalam air tanpa menjadi basah". Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi silih berganti. Ada piring-piring emas dan perak, makanan dan parfum yang berlimpah-limpah. Tamu yang bijaksana makan sebanyak yang ia butuhkan, menghirup harum-haruman, mengucapkan terima kasih pada tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya tamu-tamu yang tolol mencoba untuk membawa beberapa piring emas dan perak hanya dengan akibat semua itu direnggutkan dari tangannya dan ia pun dicampakkan ke dalam keadaan kecewa dan malu. Akan kita tutup gambaran tentang sifat-menipu dunia dengan tamsil pendek berikut ini. Misalkan sebuah kapal akan sampai pada sebuah pulau yang berhutan lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan berhenti selama beberapa jam di sana, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai sebentar, tetapi memperingatkan mereka agar tidak terlalu lama. Maka para penumpang pun turun dan bertebaran ke berbagai arah. Meskipun demikian, orang yang paling bijaksana akan segera kembali, menemukan bahwa kapal itu kosong, lalu memilih tempat yan gpaling nyaman di dalamnya. Kelompok penumpang yang kedua menghabiskan waktu yang agak lebih lama di pulau tersebut, mengagumi dedaunan, pepohonan dan mendengarkan nyanyian burung-burung. Ketika kembali ke kapal mereka temui tempat-tempat yang paling nyaman di kapal tersebut telah terisi dan terpaksa puas dengan tempat yang agak kurang nyaman. Kelompok ketiga berjalan-jalan lebih lauh lagi dan menemukan batu-batu berwarna yang amat indah, lalu membawanya kembali ke kapal. Keterlambatan itu memaksa mereka untuk mendekam jauh di bagian paling rendah kapal itu, tempat mereka dapati batu-batuan yang mereka bawa - yang ketika itu telah kehilangan segenap keindahannya - mengganggu mereka di perjalanan. Kelompok terakhir berjalan-jalan sedemikian jauh sehingga tak bisa dijangkau lagu oleh suara kapten kapal yang memanggil mereka untuk kembali ke kapal. Sehingga kapal itu pun akhirnya terpaksa berlayar tanpa mereka. Meraka luntang-lantung dalam keadaan tanpa harapan dan a menjadi mangsa binatang buas. Kelompok pertama mencerminkan orang-orang beriman yang sama sekali menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok yang terakhir adalah kelompok orang kafir yang hanya mengurusi dunia ini dan sama sekali tidak mengacuhkan yang akan datang. Dua kelompok di antaranya adalah orang-orang yang masih mempunyai iman, tapi menyibukkan diri mereka, sedikit atau banyak, dengan kesia-siaan benda-benda sekarang. Meskipun telah kita katakan banyak hal yang menentang dunia, mesti diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak termasuk di dalamnya, seperti ilmu dan amal baik. Seseorang membawa bersamanya ilmu yang ia miliki ke dunia yang akan datang dan, meskipun amal-amal baiknya telah lampau, efeknya tetap tinggal dalam pribadinya. Khususnya dengan ibadah yang menjadikan orang terus-menerus ingat dan cinta kepada Allah. Semuanya ini termasuk "hal-hal yang baik", dan sebagaimana difirmankan dalam al-Quran, "tidak akan hapus." Ada hal-hal lainnya yang baik di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, pakaian dan lain sebagainya, yang oleh orang yang bijaksana digunakan sekadarnya untuk membantunya mencapai dunia yang akan datang. Benda-benda lain yang memikat pikiran yang menyebabkan setiap kepada dunia ini dan ceroboh tentang dunia lain, adalah benar-benar kejahatan dan disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: "Dunia ini terkutuk dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah dan segala sesuatu yang mendukung perbuatan itu."

Laki2 dan perempuan yang bukan mahrom (batal dalam wudhunya apabila bersentuhan)

Inilah alasan kenapa perempuan Islam tidak boleh berjabat tangan dengan pria:: Lelaki inggris bertanya: “Kenapa dalam Islam wanita tdk boleh jabat tangan dengan pria?” Syaikh menjawab: “Bisakah kamu berjabat tangan dengan ratu elizabeth? … Lelaki inggris menjawab: “oh tentu tidak bisa! cuma orang2 tertentu saja yg bisa berjabat tangan dengan ratu.” Syaikh tersenyum & berkata:” Wanita2 kami (K aum muslimin) adalah para “RATU”, & “RATU” tidak boleh berjabat tangan dengan pria sembarangan (yg bukan mahramnya”) lalu si inggris bertanya lagi, “Kenapa perempuan Islam menutupi tubuh dan rambut mereka?” Syaikh tersenyum dan punya 2 permen, ia membuka yang pertama terus yang satu lagi tertutup. dia melemparkan keduanya ke lantai yang kotor. Syaikh bertanya: “Jika saya meminta anda untuk mengambil satu permen, mana yang anda pilih?” Si inggris menjawab: “Yang tertutup..” Syeikh berkata: ” Itulah cara kami memperlakukan dan melihat PEREMPUAN kami” "Hai Nabi,katakanlah kepada istri-istrimu,anak-anak perempuanmu,dan istri-istri kaum mukmin:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah di kenal,karena itu mereka tidak diganggu.Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, ''(Al-Ahzab:59) ‘Kami dilihat dari sejauh mana ketaqwaan, kecerdasan dan kepandaian kami, bukan dari pesona tubuh seksi kami’ “Segala sesuatu yang Allah SWT buat yang berharga di dunia ditutupi dan sulit untuk didapatkan. Di mana kamu menemukan berlian? Jauh di dalam tanah ditutupi dan dilindungi. Di mana kamu menemukan mutiara? Jauh di dasar laut ditutupi dan dilindungi dalam SHELL yang indah. Di mana kamu menemukan emas? Jalan menurun di tambang, ditutupi dengan lapisan dan lapisan batuan. kamu harus bekerja keras untuk mendapatkan mereka. Tubuh kamu adalah suci. kamu jauh lebih berharga dari berlian dan mutiara, dan kamu harus ditutupi & dilindungi juga.”

Tidurnya orang 'alim (berilmu) lebih utama drpd Ibadahnya orang yang bodoh (buta ilmu agama) itu lah perkataan baginda nabi Saw

Cara Supaya Tidur kita Bernilai Ibadah + dapat Pahala Sunnah SAYIDINA MUHAMMAD SAW Tidur Merupakan sesuatu hal yang mana pasti hal tersebut dilakukan oleh manusia dan berbagai hewan bahkan ada pula manusia yang hobbinya memang tidur (Regud) dengan begitu bagai mana cara supaya tidur kita bernilai ibadah , bahkan tidur kita akan membawa manfaat Dunia + Akherat ,, ,,,,Langsung Saja ,, Pertama tama sebelum tidur kita di Sunnahkan untuk Berwudhlu : Dari al-Barra` bin Azib, Baginda Nabi Muhammad SAW  bersabda,  Maksud Hadits: “Apabila kamu hendak tidur,maka berwudhulah (dengan sempurna) seperti kamu berwudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan” “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (Al-Bukhari) dan dari pada Manfaat dari berwudhlu sebelum tidur yaitu : seluruh waktu tidur nya di tuliskan ibadah kepada Allah Swt ,, Subhanallah ,,, dan ditambah yaitu dengan bersiwak sebelum tidur dan diantara Faedah dari siwak yaitu : * Membersihkan mulut. * Menguatkan gusi. * Menajamkan pandangan mata. * Menghilangkan bau busuk di hidung. * Menghentikan ludah, liur. * Menyebabkan Allah SWT ridha. * Menyenangkan Malaikat. * Mempratikkan Sunnah Rasul. * Menyehatkan perut. * Melipatgandakan pahala. dan yang kedua yaitu membersikan dan merapikan tempat tidur sebab apa sebab kalau tempat tidur kita rapi dan bersih maka tidur kita akan semakin nyennyak,,, dan yang ketiga yaitu berdoa : Sebagai Mana dalam riwayat di sebutkan , : BISMIKA ALLOHUMA AHYAA WA BISMIKA AMUUT Artinya : "Dengan nama-Mu Ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu pula aku mati". Kalau sudah membaca doa ini kalau bisa ditambah juga dengan membaca ayat kursi sebab apa ? Sebab ketika kita membaca ayat kursi sblm tidur Allah mengutus malaikat untuk menjada kanan kita dan apabila kita membaca ayat kursi 2 kali maka Allah Mengutus Malaikat untuk menjaga kanan-kiri kita dan apabila kita membaca Ayat kursi 3 kali maka Allah mengutus malaikat untuk pergi seraya Allah Mengatakan Akulah yg akan menjaga oran ini ,, Subhanallah ,, Betapa Mulia nya ,, membaca Ayat kursi sebelum tidur ,dan ditambah lagi dengan membaca muawwidhotain : surat Al-Ikhlas – Surat Al – Falaq – Surat Annas ,, dengan membaca doa-doa ini maka Insya Allah kita akan terjaga dari Godaan setan ( Mulai dari setan kelas kakap sampai kelas teri ) dan masih banyak lagi anjuran-anjuran doa sebulum tidur diantaranya membaca surat Al-Mulk ( Tetapi saya tidak bisa mengamalkan heheh e,,, ) dan masih bnyk lagi dan anjuran yang terakhir yaitu tidur Miring kanan + menghadap kiblat diantara manfaat nya :         Mengistirahatkan otak sebelah kiri Mengurangi beban jantung Mengistirahatkan lambung Meningkatkan pengosongan kandung empedu, pankreas Meningkatkan waktu penyerapan zat gizi Merangsang buang air besar (BAB) Mengisitirahatkan kaki kiri                       “Sesungguhnya telah ada pada (DIRI) Rasulullah itu suri teladan yang BAIK bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (Al Ahzab : 21)

Menantu Rosulullah Saw yang bernama Imam 'Ali bin abi thalib Karomallahu wajhah

Telah masyhur di kalangan ulama, khususnya ulama sufi bahwa Rasulullah saw menerima ilmu makrifat Allah swt kemudian diajarkan secara khusus kepada Imam Ali (R.a). Sepanjang masa risalahnya, secara berkesinambungan Rasulullah saw mengamalkan ilmu ini. Dengan bantuan Ilahi dan pengawasan Rasulullah saw, Ali menghafal semua ilmu ini. Lalu atas pesan dan perintah Rasulullah saw, beliau menuliskannya bagi para imam sesudahnya dari keturunannya. Dengan cara inilah, telah tersedia kitab-kitab sehingga Imam Ali (R.a) dapat dikategorikan sebagai penyimpan ilmu nubuwah dan pintu ilmu Rasulullah saw. Rasulullah saw berkali-kali memuji kedudukan ilmu Ali (R.a). Di antaranya dalam sebuah hadits, beliau bersabda: ”Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu, ia harus memasukinya melalui pintunya.”(Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hlm 127) Para sahabat Rasulullah saw mengakui kedudukan ilmu Imam Ali (R.a), khususnya dalam urusan pengadilan. Abu Hurairah mengutip dari Umar bin Khatab bahwa dalam urusan pengadilan, Ali adalah yang paling alim daripada yang lain. (TabaqatIbnSa’ad, jilid 2, hlm 339) Sua’id bin Musabbab mengatakan: “Umar senantiasa berlindung kepada Allah dari problema jikalau AbulHasan (Ali) tidak berada di sana.” (TabaqatIbnSa’ad, jilid 2, hlm 339) Al-Qomah mengutip dari Abdullah, ia berkata: “Di antara kami dikatakan, Ali bin Abi Thalib, dalam urusan pengadilan, adalah lebih berilmu dari pada semua warga Madinah.” (TabaqatIbnSa’ad, jilid 2, hlm 338) Aban bin Ayyas berkata: “Aku bertanya kepada Hasan Al-Bashri tentang Ali (R.a). Ia mengatakan: “Apa yang harus aku katakan tentangnya? Dia paling dahulu dalam memeluk Islam.Keutamaan ilmu serta fiqih dan pandangannya tiada tertutup bagi siapa pun. Ia selalu bekerjasama dengan Rasulullah saw. Keberanian, zuhud, serta pengenalannya dengan persoalan pengadilan dan kekeluargaannya dengan Rasulullah saw tak dapat dipungkiri.” (SyarahNahjulBalagahah, IbnAbilHadid, jilid 4, hlm 96) Ibnu Abbas mengatakan : “Ilmu Rasulullah saw berasal dari ilmu Allah dan ilmu Ali berasal dari ilmu Rasulullah saw; ilmu ku dari ilmu Ali; ilmu ku dan para sahabat lainnya di banding dengan ilmu Ali adalah seperti setetes air di hadapan tujuh lautan.” (Yanabi’ Al-Mawaddah, hlm 80) Ibnu Abbas mengatakan : “Setiap kali ada orang yang dapat di percaya untuk mengutip fatwa adalah Ali (R.a). Maka, kami tidak berani mendahuluinya.”(ThabaqatIbnSa’ad, jilid 2, hlm 348) Udzainah Abdi mengatakan: “Aku bertanya kepada Umar mengenai menunaikan Umrah. Dari mana aku mesti memulai ihram?”Ia menjawab: “Tanyalah kepada Ali!” (DzahairulUqba, hlm 79) Abu Hazim berkata: “Seorang lelaki datang menjumpai Muawiyah dan menanyakan suatu persoalan. Dalam jawabannya, Muawiyah berkata: “Tanyalah kepada Ali sebab dia adalah yang paling alim.” Lelaki itu berkata, “Jawabanmu lebih baik di sisiku dari pada jawaban Ali.”Muawiyah berkata: “Engkau berkata buruk! Engkau menyatakan kebencian terhadap seseorang yang Rasulullah telah ajarkan kepadanya ilmunya, beliau bersabda: “Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, kecuali sesudah ku tidak akan ada nabi.” Umar pun dalam menyelesaikan persoalan merujuk kepada Ali.” (DzahairulUqba, hlm 79)

Imam Ghozali Rohimahullah ta'ala

Imam Ghazali :“Ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, bukan sebagai penyelam penakut dan pengecut.Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”. Al-Ghazali dan Tasawuf Bahwa Al-Ghazali adalah ulama’ besar yang sanggup menyusun kompromi antara syari’at dan hakikat atau tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’I ataupun lebih-lebih kalangan sufi. Berbagai macam buku yang membahas tentang sepak terjang Al-Ghazali yang tumbuh kembang pada masa dimana banyak muncul mazhab dan golongan.Ketika itu, beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi.Al-Ghazali merasakan dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran. Sehigga tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan keberanian; Dengan demikian tidak ayal al-Ghazali merasakan dirinya berhadapan dengan samudera luas, dengan gulungan ombak yang sangat dahsyat dan dalam. Dia tidak memposisikan dirinya sebagai “penggembira” yang hanya ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu.Dia tidak merasa takut terhadap luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang. Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan berasik-maksyuk dengan Dia. Perkembangan yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari dalam untuk memoderasi ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari’at dan tasawuf atau hakikat. Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan sepenuhnya, namun cukup konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat dan syari’ah bisa diperkecil.Namun sebaliknya menimbulkan konflik ke dalam antara golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih heterodoks (pantheis).Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini, umumnya terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang lebih tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali misalnya membagi iman menjadi tiga tingkat, dan yang paling tinggi adalah para arifin (sufi). Ajaran ini diterangkan sebagai berikut; “Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid. Tingkat kedua, imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil. Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam. Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin.(ihya’ ‘ulumuddin, III, hal. 15). Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum Batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik tasawuf yang menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyakinan.Ia mengatakan, “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi.” Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malaikat dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya. Namun, bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu yang didapatkan. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal” Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Al-Ghazali mengatakan, “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.” Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan diri dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat membersihkan hati dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Al-Ghazali mengatakan, “Adapun manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.” Di dalam kitab-kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Ghazali menulis, “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan Dunia? Demi Allah, ini adalah jalan yang sangat sukar; jarang sekali ada manusia yang sanggup melakukannya” Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara dorongan hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi dipaksa untuk meninggalkan Baghdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar.Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya.Para dokter mengatakan, “Penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya.Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor yang membuatnya sakit” “Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua upaya telah gagal, akupun mau tak mau harus kembali kepada Allah dalam keadaan yang terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lagi.Allah-yang menjawab doa yang terpaksa jika berdoa-mengabulkan niatku, sehingga kini terasa mudah bagiku meninggalkan pangkat, harta, anak, dan teman.” Sesudah mengalami masa-masa keraguan yang cukup rumit, baik dalam filsafat ataupun penggunaannya dalam Ilmu Kalam, akhirnya justru mendapatkan kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam Sufisme, yakni mempercayai kemutlakan dalil kasyfi.[12] Hal ini merupakan keunikan-keunikan atau keanehan al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan yang subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme.Agaknya beliau telah sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme.Karena memang beliau melihat dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang luhur.Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan tasawuf yang digambarkannya: “Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT, secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya, dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling suci. Bahkan seandainya para ahli pikir dan para filosof yang bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada pada mereka(para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini, cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31). Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman.Dengan Ilmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama.Oleh karena itulah Tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali. Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkrompromikan tasawuf dengan syari’at? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromokan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukungnya. Persoalan inilah yang telah cukup lama diangan-angankan oleh para sufi sendiri, bagaimana cara menjembatani dua system yang tumbuh berdampingan yang sering memancing konflik yang cukup tajam. Adapun fungsi hakikat itu sendiri terhadap syari’at adalah sebagaimana digamabarkan Imam Al-Qusyairi di dalam risalahnya yaitu; “Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat hakikat adalah tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari’at tak menghasilkan apa-apa.Syari’at datang dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan.Syari’at memerintahkan mengibadahi Dia, hakikat meyaksikannya pada Dia. Syari’at melakukan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuannya, kadar-Nya, baik yang tersembunyi maupun yang di luar. (Risakah Qusyairiyah. Hal, 46) Disini, Al-Ghazali berupaya membersihkan tasawuf dari ajaran-ajaran asing yang merasukinya, agar tasawuf berjalan di atas koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menolak paham Hulul dan Ittihad sebagaimana yang di propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya. Al-Ghazali hanya menerima tasawuf Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah.Ia berusaha mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal pada sumber Islam. Semuanya itu harus mempunyai landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Satu hal mencolok yang dilakukan Al-Ghazali pada tasawuf adalah upayanya dalam mengalihkan tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang), Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang peraktis.Ia mengobati hati dan bahaya jiwa, lalu mensucikannya dengan akhlaq yang mulia. Upaya ini nampak jelas terlihat dalam kitab Al-Ihya’-nya. Ia bebicara tentang akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat) dan akhlaq yang menyelamatkan (al-Munjiyat). “Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq yang tercela (madzmum) yang dilarang al-Qur’an.Jiwa harus dibersihkan dari akhlaq yang tercela ini. Al-Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat yang disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, dan menjadi alat bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam. Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul tanpa “pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah.Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak meluhat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya.Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi syari’at.Ia mengatakan, “seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.” Bahkan dengan terang-terangan dia menolak dan melawan mereka deangan berbagai alasan dan dalil. Secara terus terang menyatakan seseorang yang telah mendapatkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu ucapan yang bertentangan dengan aqidah Islam, yakni aqidah tauhid murni yang membedakan mana Tuhan dan mana hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Itulah aqidah yang dipegang teguh Al-Ghazali.[21]Al-Ghazali mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh kaum sufi itu boleh jadi masuk ke dalam kategori imajinasi (tawahhun) karena mereka kesulitan dengan kata-kata tentang kebersatuan yang telah mereka capai. Atau, boleh jadi, penggunaan istilah-istilah itu masuk kerangka pengembangan dan perluasan istilah yang sesuai dengan tradisi sufi dan para penyair. Mereka biasanya meminjam istilah yang paling mudah dipahami, seperti kata penyair berikut; “Aku adalah yang turun, dan yang turun adalah aku juga.Kami adalah ruh yang bersemayam dalam satu badan”. Lebih jauh, Al-Ghazali mengambil kesimpulan secara umum denga memberikan catatan penting yang menyatakan bahwa kebersatuan dengan Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi.Dan Al-Ghazali tidak membahas lebih lanjut ihwal makrifat intuitif (al-ma’rifah adz-dzawiqiyyah), yang merupakan konsep utama tasawufnya. Sebab, Al-Ghazali, sebagaimana di katakana oleh Ibnu Thufail, telah terasah dengan berbagai ilmu dan terpoles dengan ma’rifat. Karena itu, pembahasan Al-Ghazali tentang konsep ma’rifat senantiasa berada dalam batas-batas agama.Ia tidak pernah membiarkan dirinya hanyut dalam ucapan orang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf menurut Al-Ghazali adalah mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah, menganggap rendah segala sesuatu selain Allah, dan akibat dari sikap itu mempengaruhi pekerjaan hati dan anggota badan. Al-Ghazali dan Syari’at Sebagaimana dipaparkan di atas tentang kehidupan Al-Ghazali bahwa, kehidupannya diliputi gelombang pemikiran yang sangat dahsyat sehingga membuat Al-Ghazali terombang-ambing dengan keyakinannya, maka dengangan demikian terlontarlah kata-katanya yang bijak bahwa, “hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi harus dipakasa untuk meninggalkan Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar.Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya.Para dokter mengatakan, “penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari faktor-faktor yang membu atnya sakit” Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah, yang mengharuskan percaya kepada iman-iman yang dipandang ma’sum (terpelihara dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid’ah Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu.Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi.Demikian juga puasa, dan sebagainya.Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat.Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat. Tasawuf dan Syari’at Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety). “Keadaan Mabuk” dikuasai oleh persaan kehadiran Tuhan: para sufi melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan makhluq-makhluq. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), kedekatan dengan Tuahn yang mencintai.“keadaan-tidak-mabuk” dipenuhi oleh rasa takut dan hormat (haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murkan dan jauh, derta tidak perduli pada persoalan-persoalan kecil umat manusia. Para sufi “yang mabuk” merasakan keintiman denga Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayangNya, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan syari’at dan menyaatkan terang-terangan persatuan denagan Tuhan, sedangkan yagn kedua memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan. Para sufi yang, dalam ungkapan Ibn al-‘Arabi, “melkihat dengan kedua mata” selalu memelihara akal dan kasyf (penyingkakpan intuitif) dalam keseimbangan yang sempurna dengan tetap mengakui hak-hak “yang tidak-mabuk” dan “yang-mabuk.” Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syari’at tidak dapkat diterima apabila ditujukan kepada tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”.Pasalnya, tasawuf tipe ini sangat menekankan pentingnya syari’at.tasawuf tidak dapat dipisahkan karena bagi para penganutnya syri’at adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf. Dalam suatu bagian Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan, “jika engkau betanya apa itu tasawuf?Maka kami menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syri’at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia.Ungkapan-ungkapan kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan disikuti oleh siapa saja yang mengigninkan keberhasialan tasawuf. Sebagai mana Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran yang membela tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”berulangkali menekankan bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at. Iskam sebagai agama yang sngat menekankan keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’at (hukum Tuahan) dan tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau tasawuf.Apabila syari’ata adalah dimensi eksoteris Islam, yang kebih banyak berurusan aspek lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek bathiniyah.Pentingnya menjaga keatuan syari’at dan tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu dialam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahitaiyah dan bathiniyah. Islam adalah suatu Agama yang mempunyai ajaran yang amat luas.Ajaran-ajaran Islam itu dinamakan Syari’at Islam. Syari’at Islam mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT, yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk untuk mensucikan jiwa manusia danmenghiasinya dengan sifat-sifat yang utama.Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf. Tasawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan Tauhid(aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at Islam tentang Islam, Iman dan Ihsan. Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan ma’bud(Tuhan). Soal ini tidak dipelajari di dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dibicarakan di dalam Tasawuf.Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut soal aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam. Selain dari Ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubngan manusia dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya dengan fiqh selain membahas tentang rukun Islam ia juga membahas tentang muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan-persoalan ini erat hubungannya dengan maslah pokok yang disebutkan Nabi diatas(Islam, Iman, Ihsan). Sebagai contoh adalah tentang penyakit dengki(hasad). Dengki menurut hadist Rasul dapat memakan amal seprti api memakan kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan)dapat dipahamkan bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesame manusia juga dapat merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq yang terpuji yang bertumbuh di dalam hati dapat dipelajari dalam ilmu Tasawuf.Dengan ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf denga rangkaian syari’at Islam. Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati kalau tidak beriman.Tasawuf Islam sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan kehendak Allah dan RasulNya. Sungguh sudah banyak penganut Tasawuf yang tergelincir di bidang ini.Banyak para Shufi yang telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi Tuhan.Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih rendah derajatnya dari para wali.Ada yang mengi’tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang kita kerjakan tidak sampai kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru lebih dahulu.Dan bayak macam-macam I’tiqad yang sesat yang bersumber dari akal fikir manusia. Mereka tidak melakukan segala I’tiqad-I’tiqad kafir dan musyrik ini kurang mendalami jiwa Tauhid Islam yang murni/yang belum bercampur dengan filsafat pemikiran manusia.Oleh sebab itu untuk mendalami tasawuf Islam terlebih dahulu harus dimatagkan pengertian Tauhid Islam. Amal Tasawuf akan rusak binasa kalau tidak didahului oleh pengertian tentang Tauhid. Demikianlah hubungan antara ilmlu Tasawuf dengan ilmu Tauhid (syari’at). Tasawuf tidak aka nada kalau tidak ada Tauhid dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada Tasawuf. Kodifikasi TASAWUF dengan SYARI’AT dalam Kacamata AL-GHAZALI Imam Al-Ghazali (w, 111 M.) adalah ulama’ ahli syari’at penganut mazhab syafi’I dalam hukum fiqh, dan seorang teolog pendukung Asy’ari yang sangat kritis, namun sesudah lamjut usia ia mulai meragukan dalail akal yang menjadi tiang tegaknya mazhab asy’ariah di samping dalil wahyu. Sesudah mengalami keraguan terhadap kemampuan akal baik dalam filsafat ataupun penggunaannya dalam ilmu kalam, akhirnya justru mendapat kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam sufisme, mempercayai kemutlakan dalail kasyf.Hal ini merupakan keunikan atau keanaehan al-Ghazali.Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan yang subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme.Agaknya beliau telah sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme.Karena memang beliau melihat dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang luhur.Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan tasawuf yang digambarkannya: “Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT, secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya, dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling suci. Bahkan seandainya para ahli piker dan para filosof yang bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada pada mereka(para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini, cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31). Kutipan di atas menunjukkan betapa tingginya nilai tasawuf di mata al-Ghazali.Dan memang hingga masa itu tasawuf masih dikelola oleh golongan elit (khawas), belum merakyat.Jadi kualitasnya masih bias terkendali.Hanya timbulnya kecenserungan kea rah phanteis atau union-mistik dan penyimpangan terhadap syari’at yang meulai memperihatinkan dan menimbulkan ketegangan. Hal ini tercermin dalam judul risalah otobiografi al-Ghazali al-Munqidz min ad-Dlalal, yang bias di terjemahkan pembebas dari kesesatan. Dari segi sufuisme buku tersebut mengkritik kesesatan peafsiran para penganut paham hulul, ittihad, dan wushul, dengan pernyataannya: “ringkasnya, penghayatn makrifat itu memuncak sampai yang demikian dekatnya pada Allah sehingga ada segolongan mengatakan hulul, segolongan lagi mengatakan ittihad, dan ada pula yang mengatakan wushul, kesemua ini salah. Dan telah kujelaskan segi kesalahan mereka dalam maqshudu al-Aqsha(Tujuan yang Tinggi).Al-Munqidz min al-Dlala, hal. 32” Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah, yang mengharuskan percaya kepada imam-imam yang dipandang ma’sum (terpelihara dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid’ah. . Sedang mengenai masalah ajaran-ajaran dalam sufisme, dalam munqidz telah ditunjikkan paham-paham yang sesat.Agar masyarakat tidak tersesat kepaham neka-neka al-Ghazali mencoba membatasi penghayatan makrifat dalam sufisme agar dimoderasi hanhya sampai ke penghayatan yang amat dekat dengan Tuhan, tidak terjerumus ke paham hulul, ittihad, dan whusul.Dengan demikian berarti al-Ghazali menolak penghayatan makrifat kea rah puncak, yaitu menolak fana’ al-fana’.Jadi dalam mengamalkan tasawuf dibatasi dan dimoderasi hanya kepada penghayatan fana’ (ecstasy) yang tengah-tengah, yang masih menyadari adanya perbedaan yang fundamental antara manusia dan Tuhan yang transenden, mengatasi alam semesta.Yaitu hanya samkpai penghayatan yang dekat (qurb) dengan Tuhan, sehingga kesadaran diri sebagai yang sedang makrifat tetap berbeda dengan Tuhan yang dimakrifatinya. Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman.Dengan ilmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[40] Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkompromikan tasawuf dengan syari’at itu? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromikan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukung.? Kebutuhan ini wajar, karena para sufi sendiri mengembangkan ajaran mereka adalah untuk menyemarakkan kehidupan agama, dan bukan untuk merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu yang belum bisa di kemukakan oleh para ulama’ sufi. Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya baru bisa merumuskan harapan sebagai berikut: “Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa.Syari’at dating dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan Tuhan.Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakuakan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak diluar. (Risalah Qusyairiyah, hal. 46)” Walaupun cita untuik menjalin keselarasan pengamalan taswuf dengan syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama’-ulama’ sufi sebelumnya, namun baru al-Ghazali yang secara konkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya. Konsep al-Ghazali yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengalaman sufisme denga syari’at disusun dalam karyanya yang paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din. Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf.Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu.Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya p[ara penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya.Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat.Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat. Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul tanpa “pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah.Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak meluhat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, “mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya.Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi syari’at.Ia mengatakan, “seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”